Pengertian dan Tujuan Pengendalian Sosial
Menurut Soerjono Soekanto, pengendalian sosial adalah suatu proses baik yang direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang berlaku.
Sedangkan menurut Joseph S. Roucek, arti sesungguhnya pengendalian sosial adalah jauh lebih luas, karena pada pengertian tersebut tercakup juga segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku.
Obyek (sasaran) pengendalian sosial, adalah perilaku masyarakat itu sendiri. Tujuan pengawasan adalah supaya kehidupan masyarakat dapat berlangsung menurut pola-pola dan kidah-kaidah yang telah disepakati bersama.
Dengan demikian, pengendalian sosial meliputi proses sosial yang direncanakan maupun tidak direncanakan (spontan) untuk mengarahkan seseorang.
Juga pengendalian sosial pada dasarnya merupakan sistem dan proses yang mendidik, mengajak dan bahkan memaksa warga masyarakat untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma sosial. (1) Sistem mendidik dimaksudkan agar dalam diri seseorang terdapat perubahan sikap dan tingkah laku untuk bertindak sesuai dengan norma-norma; (2) Sistem mengajak bertujuan mengarahkan agar perbuatan seseorang didasarkan pada norma-norma, dan tidak menurut kemauan individu-individu; dan (3) Sistem memaksa bertujuan untuk mempengaruhi secara tegas agar seseorang bertindak sesuai dengan norma-norma. Bila ia tidak mau menaati kaidah atau norma, maka ia akan dikenakan sanksi.
Dalam pengendalian sosial kita bisa melihat pengendalian sosial berproses pada tiga pola yakni:
- Pengendalian kelompok terhadap kelompok,
- Pengendalian kelompok terhadap anggota-anggotanya, dan
- Pengendalian pribadi terhadap pribadi lainnya.
Koentjaraningrat menyebut setidaknya ada lima macam fungsi pengendalian sosial, yaitu:
- Mempertebal keyakinan masyarakat tentang kebaikan norma,
- Memberikan imbalan kepada warga yang menaati norma,
- Mengembangkan rasa malu,
- Mengembangkan rasa takut, dan
- Menciptakan sistem hukum.
Ada tiga jenis sanksi yang digunakan di dalam usaha-usaha pelaksanaan kontrol sosial ini, yaitu : (1). Sanksi yang bersifat fisik, (2). Sanksi yang bersifat psikologik, dan (3) Sanksi yang bersifat ekonomik. Pada praktiknya, ketiga jenis sanksi tersebut di atas itu sering kali terpaksa diterapkan secara bersamaan tanpa bisa dipisah-pisahkan, misalnya kalau seorang hakim menjatuhkan pidana penjara kepada seorang terdakwa; ini berarti bahwa sekaligus terdakwa tersebut dikenai sanksi fisik (karena dirampas kebebasan fisiknya), sanksi psikologik (karena terasakan olehnya adanya perasaan aib dan malu menjadi orang hukuman), dan sanksi ekonomik (karena dilenyapkan kesempatan meneruskan pekerjaannya guna menghasilkan uang dan kekayaan). Sementara itu, untuk mengusahakan terjadinya konformitas, kontrol sosial sesungguhnya juga dilaksanakan dengan menggunakan incentive-incentive positif yaitu dorongan positif yang akan membantu individu-individu untuk segera meninggalkan pekerti-pekertinya yang salah.
Sebagaimana halnya dengan sanksi-sanksi, incentive itu pun bisa dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) Insentif yang bersifat fisik; (2) Insentif yang bersifat psikologik; dan (3) Insentif yang bersif ekonomik. Insentif fisik tidaklah begitu banyak ragamnya, serta tidak juga begitu mudah diadakan. Seandainya dapat diberikanpun, rasa nikmat jasmaniah yang diperoleh daripadanya tidaklah akan sampai seekstrem rasa derita yang dirasakan di dalam sanksi fisik. Jabatan tangan, usapan tangan di kepala, pelukan, ciuman tidaklah akan sebanding dengan ekstremitas penderitaan sanksi fisik seperti hukuman cambuk, hukuman kerja paksa, hukuman gantung dan lain sebagainya. Bernilai sekadar sebagai simbol, kebanyakan incentive fisik lebih tepat dirasakan sebagai incentive psikologik. Sementara itu, disamping incentive fisik dan psikologik tidak kalah pentingnya adalah Insentif ekonomik. Incentive ekonomik kebanyakan berwujud hadiah-hadiah barang atau ke arah penghasilan uang yang lebih banyak.
Jenis Pengendalian Sosial.
Menurut M. Kemal Dermawan, reaksi sosial atau reaksi masyarakat terhadap kejahatan pada hakikatnya berkaitan dengan maksud dan tujuan dari usaha pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Ada pun upaya penanggulangan dan pencegahan itu pada dasarnya merupakan bentuk pengendalian sosial. Dengan demikian, pengendalian sosial, jika dilihat berdasarkan jenis reaksi masyarakat terhadap kejahatan/penyimpangan, wujudnya dapat berupa ;
- reaksi formal yang diwujudkan dalam sistem peradilan (pidana) dan
- dapat berupa reaksi informal antara lain dalam bentuk-bentuk upaya pencegahan kejahatan secara swakarsa oleh masyarakat.
Pengertian nonformal dalam hal ini menurut Muhammad Mustofa adalah bahwa yang melakukan tindakan adalah bukan pranata pengendalian sosial formal dalam sistem peradilan pidana, misal tindakan kepala sekolah untuk menegakkan disiplin terhadap muridnya yang melakukan kenakalan, termasuk dalam pengertian ini adalah tindakan main hakim sendiri bila masyarakat menangkap basah seorang pelaku kejahatan. Menurut hemat penulis, praktik penagihan yang dilakukan oleh Debt Collector yang disewa perusahaan Leasing atau Perbankan juga dapat dimasukkan dalam katagori ini.
Sumber:
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, 1990, h., 45.
Sekian uraian tentang Pengertian Pengendalian Sosial Menurut Para Ahli, semoga bermanfaat.